Buat apa memberi obat cacing?!

Daniel, begitu dia menyebut dirinya, baru saja membeli seekor anjing jenis chow-chow berumur 2,5 bulan di sebuah pet shop di daerah Surabaya barat dan memutuskan untuk membawanya ke dokter hewan untuk diperiksakan kesehatannya.

“Ngapain aku harus kasi dia obat cacing, jangan-jangan nanti malah mencret (diare) dia, dok?” kata dia setelah dokter yang memeriksa menganjurkan agar anjing tersebut diberi obat cacing.

Meski sempat ragu, namun pria berusia 29 tahun itu akhirnya memberikan obat cacing ke anjingnya. Beberapa hari kemudian, Daniel menghubungi dokter hewan tersebut dan memberitahu bahwa dia menemukan cacing yang bentuknya seperti mie berwarna putih di kotoran anjingnya segera setelah obat cacing diberikan.

Ibu Sisca yang memiliki anjing golden retriever berumur 6 tahun juga tidak berpikir memberikan obat cacing ke anjingnya sampai suatu saat anjingnya memuntahkan cacing bersama dengan makanannya.

Wanita berumur sekitar 40an tahun tersebut menganggap anjingnya yang cukup gemuk, lincah dan lahap makannya tidak mungkin mengidap cacingan. Satu-satunya hal yang tampak dari luar hanyalah leleran kotoran mata anjing berbobot 30 kilogram tersebut.

Anjing ibu Sisca termasuk beruntung sebab cacing dari perut yang dimuntahkan tidak sampai migrasi ke dalam paru-paru yang bisa berakibat fatal.

Selain bersifat menurunkan kualitas dan membahayakan hidup anjing, cacing pada anjing dapat ditularkan ke manusia, apabila pemilik kurang memperhatikan kebersihan tangannya.

Ada dua jenis cacing yang umum ditemui di anjing yaitu cacing tambang yang berbentuk seperti mie dan cacing pita. Obat cacing yang beredar di pasaran pada umumnya mampu membasmi kedua jenis cacing ini, namun ada beberapa obat yang hanya efektif membasmi cacing tambang saja.

Idealnya, pemilik wajib memberikan obat cacing ke hewan peliharaannya, entah itu antara lain anjing atau kucing, setiap 6 bulan sekali dengan dosis pemberian yang disesuaikan dengan berat badan masing-masing hewan.